Kamis, 26 Februari 2009

Sepenggal Kisah- Gili Trawangan

Sabtu, 6 Desember 2008. Hari itu adalah hari ketiga perjalanan backpacking kami di Lombok. Setelah puas menikmati keindahan dan kesunyian pantai Senggigi, kami pun bermaksud menyambangi dan melihat secara langsung kecantikan gugusan tiga gili di bagian barat Lombok.

Terdapat tiga gili (pulau, dalam bahasa Lombok) di Lombok Barat yang sangat terkenal seantero bumi, yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Namun kami memilih Gili Trawangan, sebagai tempat menginap dikarenakan paling ramai dengan harga yang paling bersahabat untuk kelas backpacker.

Dari Mataram, dengan motor pinjaman dari salah seorang teman yang sangat baik *thanx to Reza*, perjalanan menuju pelabuhan Bangsal kami tempuh sekitar satu jam. Jalur yang kami lalui tidak melintasi pesisir Senggigi (if u look the map, maybe it looks more easy and more faster), tapi melewati jalur Gunung Sari- Pusuk. Kalau kita lihat di peta sih mungkin memang terlihat lebih jauh, namun jalur ini memang lebih nyaman. Yahh..jika dibandingkan dengan menyisir jalur pantai yang membuat kulit sukses mengosong ;p (we’ve ride motorcycle!!). Apalagi kami juga sempat mampir dan menyaksikan atraksi monyet2 liar di puncak pusuk yang selalu ingin show-up di depan manusia2 yang menyambanginya.

Pemandangan laut lepas dan gugusan Gili yang menjadi background habitat monyet2 liar itu juga menambah kebetahan kami di puncak Pusuk. Namun waktu sudah menunjukkan pukul 14.10, sedangkan kapal (umum) terakhir yang akan berangkat menurut info yang kami dapat pukul 15.00, kami lalu melanjutkan perjalanan.

Pusuk Monkey

Tibalah kami di pelabuhan bangsal tepat pukul 14.30. Setelah menitipkan motor di tempat khusus penitipan (dengan biaya Rp. 7000,-/jam) kami bermaksud membeli tiket menuju Gili Trawangan. Tiba-tiba ada seorang pria (calo) mendatangi kami, menawarkan kami untuk ikut berangkat saat itu juga, dengan kedua tamunya (sepasang bule Eropa), dengan membayar sewa perahu sebesar Rp 175.000,- (sewa khusus, langsung berangkat). Kami yang tidak tahu apa-apa (bahkan tidak sempat menuju loket pembelian tiket) langsung disuruh masuk ke dalam kapal. Namun si bule perempuan tadi menahan dan mengajak beberapa penumpang lain untuk share bersama kami, agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Tapi sang calo tadi tetap bersikeras menyuruh kami masuk dengan alasan kapal untuk umum (dengan tiket Rp.10.000,-/orang) baru akan berangkat ketika telah terkumpul 25 orang, sementara keberangkatan terakhir pukul 15.00 dan saat itu sudah pukul 14.30, dan orang2 di pelabuhan itu tinggal sedikit dengan tujuan tidak hanya ke Gili Trawangan saja, menurutnya.

Ketika bule perempuan tadi mengajak dua bule lainnya untuk bergabung, sang calo malah berkelit dengan berkata biaya Rp 175.000,- itu hanya untuk berempat, tapi bule perempuan yang pintar itu menuju loket dan membaca petunjuk biaya sewa kapal, ternyata saya juga baru membaca kalau sewa kapal Rp. 175.000,- itu untuk maksimal 12 orang. Lantas kenapa dia memaksa hanya kami berempat yang masuk dan dengan sikap yang jauh dari sopan ketika melayani tamu-tamu asing yang berwisata di daerahnya??!!

Bule perempuan dan calo tadi masih beradu mulut, saya berlari ke arah orang-orang lokal yang sedang duduk, saya tanya, ternyata mereka semua memang bertujuan ke Gili Trawangan. Setelah saya hitung jumlahnya mencapai 18 orang dan tak lama beberapa orang lagi datang. Akhirnya kami berempat membeli tiket untuk umum yang hanya Rp. 10.000,- per orang. Hanya satu komentar dari perempuan Eropa itu, “ They’re horrible!!”

Tak lama, tapat pukul 15.00, kapal umum tersebut berangkat (benar2 umum karena ada sayuran, pupuk, kambing hidup, berhubung dua hari lagi perayaan idul fitri, dan ayam2 hidup).

di atas kapal


Untunglah kami mau bersabar dan tidak terbujuk hasutan calo tadi. Yang saya sesali adalah kenapa calo-calo seperti itu masih berkeliaran di sektor pariwisata Indonesia, yang akansangat memalukan nama Indonesia di mata turis2 asing. Kondisi pelabuhan Bangsal, sebagai salah satu penunjang sektor pariwisata Lombok juga seharusnya diperbaiki, begitu pula system keberangkatan kapal dan calo2nya, mengingat gugusan tiga gili ini sangat diminati terutama oleh turis-turis asing. Yah..semoga saja kondisinya akan lebih baik.. Just share my experience to u all..

sunrise at Gili Trawangan

Kamis, 22 Januari 2009

Dini hari di Statsiun Tugu

Stasiun Tugu Yogyakarta, 11. 45 WIB. 3 Desember 2008

I was on my backpacking vacation, in my first city, Yogyakarta.

Dari Yogya, saya akan melanjutkan perjalanan menuju Lombok. Namun saya harus ke Surabaya terlebih dahulu karena pesawat yang akan membawa saya ke Lombok berangkat dari Surabaya. Karena teman saya tak tahan kantuk, sementara Mutiara Selatan yg akan mengantarkan kami ke Surabaya akan berangkat pada pukul 2 dini hari, maka ia mengantarkan saya ke stasiun pada pukul setengah 12 malam. Sambil terkantuk- kantuk saya duduk dan menunggu datangnya kereta Mutiara Selatan yang berangkat dari Bandung pada pukul 7 malam.

Suasana stasiun Tugu cukup lengang. Tak terbayang jika saya harus berada di sana dan menunggu kereta pada musim liburan ataupun musim mudik. Mungkin saya tidak bisa duduk berselonjor kaki dengan tenang. Tampak beberapa pria paruh baya juga duduk di ruang tunggu stasiun kebanggaan Yogya itu.Ada juga sepasang kekasih yang juga terkantuk-kantuk menunggu datangnya kereta yang akan membawa mereka entah kemana. Ada seorang nenek yang tertidur pulas dengan badan yang seluruhnya disandarkan di kursi. Dan ada seorang lelaki bule, mungkin dari Eropa, tebakan saya, yang dengan setelan backpacker-nya duduk ditemani earphone di telinganya dan membaca lonely planet-Indonesia.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Belum terdengar suara khas sentuhan kereta dengan jalannya. Tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara segerombol petugas keamanan. Mereka mendatangi kami satu persatu dan memeriksa tiket kami. Ketika sampailah pada nenek tersebut. Dengan tega mereka membangunkan sang nenek dan menanyakan tujuan perjalanannya. Sang nenek hanyak duduk, diam, dan sumringah.

Petugas keamanan,” Jangan senyum-senyum aja, mana tiketnya nek?”

Sang nenek hanya diam.

Petugas keamanan, “Nenek mau ke mana sebenarnya?”

Nenek tetap diam

Petugas keamanan, “Jangan-jangan nih nenek kabur lagi dari rumah.”

Sang nenek tetap diam.

Akhirnya sang nenek pun diusir keluar dari stasiun Tugu. Miris rasanya melihat orang tua renta itu memohon untuk menumpang duduk di sana. Para petugas itu bergumam, bahwa bulan kemarin ternyata ditemukan dua mayat di atas kursi tunggu stasiun tersebut, karena itulah mereka memperketat pemeriksaan kepada setiap penumpang, terutama pada dini hari.

Ah, di mana keluargamu Nek? Mengapa engkau sendiri di stasiun kereta, tepat jam 1 pagi? Apa yang kau tunggu dan kau cari di sana? Ingin rasanya aku bertandang ke arahnya, sekedar untuk mengobrol dan memberinya sedikit rasa belas kasihan. Namun suara kereta yang akan mengantarku ke Surabaya telah terdegar dan aku bergegas menuju gerbong kereta.

Minggu, 18 Januari 2009

Check this out!





Myspace Layouts